Ibu di balik para ulama dan tokoh besar islam – Ibu adalah sosok wanita hebat sepanjang masa yang harus kita hormati, karena kedudukan ibu yang mulia. Bahkan dalam sejarah islam mencatat sosok ibu luar biasa, yang melahirkan para ulama dan tokoh besar islam pembangun peradaban islam.
Inilah kaum ibu di balik para ulama dan tokoh besar yang bisa dijadikan sebagai suri tauladan dalam mendidik anak-anak supaya kelak menjadi generasi terbaik silam :
Ibu Imam Malik bin Anas
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Uwais, “Aku mendengar pamanku, Malik bin Anas, bercerita “Dulu sewaktu aku kecil, ibuku biasa memakaikanku pakaian dan mengenakan imamah untukku. Kemudian ia mengantarkanku kepada Rabiah bin Abi Abdirrahman.”
Ibuku mengatakan, “Anakku, datanglah ke masjelisnya Rabi’ah. Pelajari akhlaknya dan adabnya sebelum engkau mempelajari hadits dan fikih darinya.”
Al-Khansa, Tumadhar binti Amr bin Al-Harits Ibu Para Mujahid
Ketika umat islam bersiap dan menghitung jumlah pasukan menghadapi perang qudisiyah, saat itu pula al-Khansa bersama empat orang putranya siap berangkat bersama pasukan dan berjumpa dengan pasukan Persia.
Ketika sinar pagi telah terbit, kedua pasukanpun bertemu. Gugulah orang-orang yang ditakdirkan gugur. Dan mereka yang ditakdirkan hidup, akan tetap hidup walaupun berangkat mencari kematian.
Usai peperangan, al-Khansa mencari kabar tentang putra-putranya. Kabar syahid anak-anaknya sampai kepadanya, ia berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan kematian mereka. Aku berharap Rabku mengumpulkanku bersama mereka dalam kasih sayang-Nya.”
Ibu Sufyan at-Tsaury
Sufyan ats-Tsaury adalah tokoh besar tabi’ at-tabi’in. Ia seorang fakih yang disebut denngan aminul mukminin fil hadits (pemimpin umat islam dalam hadits Nabi). Dibalik ulama besar generasi ketiga ini, ada seorang ibu yang shalihah, Ibu yang mendidik dan menginfakkan waktu untuk membimbingnya.
Sufyan mengisahkan, “Saat aku berencana serius belajar, aku bergumam, ‘Ya Rabb, aku harus punya penghasilan (untuk modal belajar pen)’ Sementara kulihat ilmu itu pergi dan menghilang. Apakah kuurungkan saja keinginan belajar. Aku memohon kepada Allah SWT agar Dia (yang Maha Pemberi rezeki) mencukupku”.
Datanglah pertolongan Allah SWT melalui ibunya brekata, “Wahai Sufyan anakku, belajarlah, aku yang akan menanggungmu dari usaha memintaku”. Inilai di antara bentuk perjuangan ibu Sufyan ats-Tausry.
Ibu Imam asy-Syafi’i
Ayah Imam Asy-Syafi’i wafat dalam usia muda. Ibunya yang membesarkan, mendidik, dan memperhatikannya hingga kemudian Muhammad bin Idris asy-Syafi’i menjadi seorang imam besar. Ibunya membawa Muhammad kecil hijrah dari Gaza menuju Mekkah.
Imam asy-Syafi’i bercerita tentang masa kecilnya, “Aku adalah seorang anak yatim. Ibukulah yang mengasuhku. Namun ia tidak memiliki biaya untuk pendidikanku, aku menghafal al-qur’an saat berusia 7 tahun. Dan menghafal (kitab) al-Muwaththa saat berusia 10 tahun. Setelah menyempurnakan hafalan al-qur’anku, aku masuk ke masjid duduk di majelisnya para ulama. Kuhafalkan hadits atau suatu permasalahan. Keadaan kami di masyarakat berbeda, aku tidak memiliki uang untuk membeli kertas. Aku pun menjadikan tulang sebagai tempat menulis.”
Walaupun memiliki ketebatasan materi, ibu Imam asy-Syafi’i tetap memberi perhatian luar biasa terhadap pendidikan anaknya.
Ibu Imam Ahmad bin Hanbal
Ibu Imam Ahmad bernama Shafiyah binti Maimunah binti Abdul Malik. Ayahnya wafat di usia muda, 30 tahun ibunya pun hidup menjanda dan enggan menikah lagi, walaupun usianya belum mencapai 30 tahun. Ia hanya ingin fokus memenuhi kehidupannya untuk anaknya.
Buah usahanya adalah yang kita tahu saat ini Imam Ahmad menjadi salah seorang imam besar bagi kaum muslimin. Ia adalah imam madzhab yang empat. Semoga Allah SWT merahmati Ibu Imam Ahmad.
Ibu Imam Al-Bukhari
Imam al-Bukhari tumbuh besar sebagai seorang yatim. Ibunya yang mengasuhnya, beliau mendidiknya dengan pendidikan terbaik. Mengurus keperluannya dan mendoakannya serta memberikan dorongan untuk terus belajar dan berbuat baik.
Saat berusia 16 tahun, ibunya mengajak Imam al-Bukhari bersafar ke Mekkah. Kemudian meninggalkan putranya di negeri haram tersebut. Tujuannya agar sang anak dapat menimba ilmu dari para ulama Mekkah.
Dari hasil bimbingan dan perhatian ibunya, jadilah Imam al-Bukhari seperti yang kita kenal saat ini. Seorang ulama yang gurunya pernah mengatakan, “Tidak ada orang yang lebih hebat darinya (dalam ilmu hadits)”.
Ibu Ibnu Taimiyah
“Demi Allah SWT seperti inilah caraku mendidikmu, aku nadzarkan dirimu untuk berkhidmat kepada islam dan kaum muslimin. Aku didik engkau di atas syariat islam. ‘Wahai anakku, jangan kau sangka, engkau berada di sisiku itu lebih aku cintai dibanding kedekatanmu pada agama, berkhidmat untuk islam dan kaum muslimin walaupun kau berada di penjuru negeri. Anakku ridhaku kepadamu berbanding lurus dengan apa yang kau persembahkan untuk agamamu dan kaum muslimin.
Sungguh wahai ananda, di hadapan Allah SWT kelak aku tidak akan menanyakan keadaanmu, karena kau tahu dimana dirimu dan dalam keadaan seperti apa engkau. Yang akan kutanyakan di hadapan Allah SWT kelak tentangmu wahai Ahmad sejauh mana khidmatmu kepada agama Allah SWT dan saudara-saudaramy kaum muslim.”
Inilah surat yang ditulis ibu Syaikhul islam Ibnu Taimiyah kepada dirinya, setelah beliau memohon izin kepada sang ibu untuk tetap tinggal di Mesir. Ibunda Ibnu Taimiyah memberikan kesan bahwa ia adalah wanita yang teguh jiwa dan hatinya.
Ibu Sultan Muhammad al-Fatih
Setelah shalat subuh, ibu Sultan Muhammad al-Fatih mengajarinya tentang geografi, garis batas wilayah Konstatinopel. Ia berkata, “Engkau wahai Muhammad akan membebaskan wilayah ini, Namamu adalah Muhammad sebagaimana sabda Rasulullah SAW.”
Muhammad kecil pun bertanya, “Bagaimana aku bisa membebaskan wilayah sebesar itu wahai ibu?”Dengan Al-Qur’an, kekuatan, persenjataan, dan mencintai manusia”, jawab sang ibu penuh hikmat.
Itulah ibu Muhammad al-Fatih, mendidik anaknya di waktu berkah pagi hari. Dia tidak membiarkan anaknya terbiasa dengan tidur di waktu pagi. Ia lakukan sesuatu yang menarik perhatian sang anak. Mendorongnya dengan sesuatu yang besar dengan dasar agama dan kasih sayang bukan spirit penjajahan.
Sumber : Kisah Muslim