Explore Badui Dalam

Explore Badui Dalam – Badui Dalam terdiri dari tiga Desa dan masing-masing Desa memiliki keunggulan tersendiri di bidangnya. Desa yang kami tempati saat ini adalah Desa Cibeo yang memiliki keunggulan dibidang pertanian. Ada juga Desa Cikesit dengan keunggulan hukum adat serta keagamaan Badui Dalam. Dan terakhir adalah Desa Cikartawarna dengan keunggulan pengobatannya.

Perbedaan Badui Dalam dengan Badui Luar dari sisi pakaian adalah dari warna yang mereka gunakan. Badui Dalam menggunakan pakaian berwarna putih tanpa kancing baju di lehernya serta kain pengikat kepala (jemang) berwarna putih dengan sarung tenun berwarna hitam. Sedangkan Badui Luar menggunakan pakaian berwarna hitam, dengan jemang penutup kepala bermotif biru dan berwarna hitam.

Badui Dalam hanya dibolehkan memelihara ayam dan disembelih untuk dimakan. Sedangkan kambing, sapi, dan kerbau tidak boleh dipelihara hanya boleh dimakan saja. Uniknya adalah Ayam Badui Dalam tidak dikandangi melainkan berteduh di bawah rumah Urang Kanekes dan pulang dengan sendirinya. Selain itu, di Badui Dalam tidak ada yang menanam kopi dan singkong, karena konon katanya Dewi Sri tidak suka dengan tanaman-tanaman tersebut. Alasan lainnya tanah di Badui Dalam tidak cocok untuk menanam kopi dan singkong selain itu akan mempengaruhi kesuburan padi.

Menariknya jika tanaman padi mereka tidak tumbuh atau sakit, mereka membuat racikan pupuk alami dari bahan gula aren, kelapa hijau, mengkudu, jeruk nipis yang dicampur untuk kemudian disebar ke padi sebagai pengobatannya. Mengutip cerita dari Ayah Reba mata pencaharian suku Badui Dalam adalah pertanian di ladang huma, jahe, kencur, kunyit.

Urang Kanekes Badui Dalam banayak menanam padi di ladang huma bukan kawasan perairan dan panennya setahun sekali. Istimewanya lagi mereka hanya mengandalkan hujan namun tanaman padi tetap tumbuh subur meskipun kemarau. Itu sebabnya mereka menyimpan hasil panennya di lumbung padi (saung khusus penyimpanan padi). Jika ada acara adat, para wanita Badui Dalam di kampung tersebut menumbuk gabah padi secara bersama-sama dengan lesung besar.

Badui Dalam punya kepala desa yang disebut sebagai Puun dan Jaro sebutan dari pembantunya. Sedangkan pangkat untuk keamanan desa disebut Pulung. Jika salah satu dari masyarakat Badui Dalam melanggar aturan seperti berbuat zina, pergi keluar kampung tanpa izin, mencuri, dsb, mereka akan dihukum sesuai dengan ketentuan adat. Hukuman Badui Dalam adalah hukum adat dan hukum alam. Hukum adat mereka adalah diasingkan ke Badui Luar dan masuk penjara kurang lebih 40hari lamanya serta bekerja tanpa diberi upah. Sedangkan Hukum lainnya jika tidak ketahuan pelakunya akan terkena hukum alam bisa berupa bencana alam dan sakit menahun.

Mengutip cerita dari Ayah Reba Agama di Badui Dalam dalam menganut sunda wiwitan mengikuti Nabi Adam. Kehidupan mereka berdampingan dengan alam dengan nilai kesederhaannya. Bahkan anak-anak Badui Dalam mulai diajarkan ayahnya sejak kecil untuk menebang pohon, bacaan jimat atau doa-doa, pantun atau syair. Badui Dalam menganut sistem perjodohan bahkan sejak dalam kandungan. Jika sudah dewasa akan dinikahkan dengan jodoh pilihan orang tuanya. Semisal Badui Dalam kebanyakan gender laki-laki maka ia akan dijodohkan dengan gadis dari Baduy Luar. Setelah menikah baik laki-laki maupun perempuan akan keluar dari Badui Dalam kecuali menikah sesama warga Baduy Dalam, ia akan tetap tinggal di Badui Dalam.

 

Akhir cerita Ayah Reba menceritakan tentang upacara adat Badui Dalam adalah Kawalu. Upacara adat Kawalu merupakan ungkapan rasa syukur atas keberhasilan pertanian yang diwujudkan dengan berpuasa. Masyarakat Badui melaksanakan kawalu sebanyak tiga kali dalam setahun, yakni pada bulan Kasa, Karo, dan Katiga. Makna dari puasa ini adalah untuk membersihkan diri dari hawa nafsu yang buruk.

Di bulan Kasa, mereka melakukan Kawalu tembey atau kawalu awal. Pada tanggal 18, seluruh masyarakat Badui akan berpuasa. Adapun sederet ritual dilakukan, seperti membuat saji (khusus wanita), mandi di sungai, pembacaan mantera oleh puun (ketua adat Badui), dan diakhiri dengan makan saji (buka puasa). Puasa di bulan Karo disebut kawalu tengah, sedangkan di bulan Katiga dinamakan kawalu tutug. Puncak perayaan Kawalu adalah acara Saba Baduy yakni warga Badui Dalam maupun Badui Luar beriring-iringan membawa hasil panenya ke Gubernur Banten.

Singkat cerita, hal yang bisa saya pelajari adalah Badui bukan hanya sebutan sebuah suku, namun memiliki makna budaya luhur tersendiri. Kali ini perjalanannya sedikit berbeda, bukan hanya mendaki saja namun bersilaturahmi dengan Urang Kanekes. Perjalanan menuju Badui Dalam sangat mengesankan. Selain disuguhkan dengan panorama alam yang indah, ada adat istiadat yang kental didalamnya. Salah satu nilai yang mereka junjung adalah tentang kesederhanaan hidup dan rasa syukur. Dua nilai inilah yang menjadi keistimewaan Badui dan budayanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *