Perhatian Islam Terhadap Anak yang Masih di Rahim Ibunya

Perhatian islam terhadap anak yang masih di rahim Ibunya – Seorang ibu yang sedang mengandung, pasti menginginkan anak yang ada di rahimnya sehat serta bisa lahir dengan baik dan sempurna. Islam adalah agama yang menaruh perhatian lebih terhadap anak, bahkan sejak berada di rahim ibunya. Berikut adalah beberapa perhatian islam terhadap anak yang masih di rahim ibunya :

Perhatian Islam Terhadap Nafkah yang Diberikan Kepada Wanita Hamil yang Diceraikan

 

 

Salah satu bukti yang menunjukkan perhatian islam terhadap anak yang masih di rahim ibunya adalah nafkah yang diberikan kepada wanita hamil yang diceraikan atau telah jatuh talak tiga.

Nafkah yang diberikan adalah untuk anak yang ada di rahim (kandungan) ibunya bukan untuk ibunya. Sebab, hak nafkah bagi ibunya sudah gugur sejak jatuhnya talak tiga oleh sang suami kepadanya. Sebagaimana firman Allah dalam surah berikut :

…وَاِنْ كُنَّ اُولٰتِ حَمْلٍ فَاَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتّٰى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّۚ
“…Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan” (Ath-Thalaq: 6)
Kewajiban suami menafkahi wanita mengandung yang sudah jatuh talak tiga tidak lain hanyalah demi anak yang ada di rahim ibunya. Jalan salah satunya adalah dengan memberikan nafkah kepada ibunya. Sehubung dengan hal ini, Ibnu Qadamah berkata,
“Karena bayi yang dikandung adalah anaknya (mantan suami) maka ia pun wajib menafkahinya. Karena pemberian nafkah kepada sang bayi hanya mungkin dilakukan melalui ibunya maka memberi nafkah kepada ibunya menjadi wajib sama halnya dengan upah menyusui.”

Perhatian Islam Terhadap Kesehatan Anak yang Masih di Rahim Ibunya

 

Perhatian lain yang diberikan islam terhadap anak yang masih di rahim ibunya adalah menjaga kesehatan anak dari hal-hal yang membahayakannya semasa berada di rahim ibunya. Karena itu, ibu yang sedang hamil, bila merasa khawatir dengan kesehatan janinnya, diperbolehkan tidak berpuasa pada bulan Ramadhan.

Seorang ibu yang sedang mengandung, posisinya sama seperti orang sakit dan orang yang sedang dalam perjalanan. Bahkan sebagian ulama berpendapat yaitu yang sedang hamil dibebaskan dari kewajiban membayar kafarat, tetapi tidak untuk wanita yang sedang menyusui.

Mereka beralasan karena kedudukan janin atau anak yang masih di rahim ibunya sama halnya dengan bagian tubuh wanita yang mengandungnya. Sehingga kekhawatiran akan keselamatan janin sama dengan sebagian dari anggota tubuh wanita yang bersangkutan.

Lain halnya dengan wanita yang menyusui jika tidak bisa menyusui bayinya. Dalam hal ini bisa mengupah wanita lain untuk menyusui anaknya. Sebagaimana firman Allah dalam surah berikut :

…. ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ…

“Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (Al-Baqarah: 184)

Perhatian Islam Terhadap Penangguhan  Hukuman bagi Ibu yang Sedang Hamil

Ketiga adalah perhatian islam terhadap penangguhan hukuman yang harus dijalani bagi ibu yang sedang hamil, hal ini bertujuan supaya menjaga keselamatan anak yang masih ada di rahim ibunya.

Jika hukuman tersebut dapat mempengaruhi atau dipastikan akan mematikan sang bayi yang ada di kandungan ibunya maka hukuman sang ibu ditangguhkan. Sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Muslim yaitu tentang wanita Ghamidiyyah Radhiyallahu anha yang berbuat zina dan kemudian hamil sebagai berikut :

فَجَاءَتْ الْغَامِدِيَّةُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي قَدْ زَنَيْتُ فَطَهِّرْنِي وَإِنَّهُ رَدَّهَا فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ تَرُدُّنِي لَعَلَّكَ أَنْ تَرُدَّنِي كَمَا رَدَدْتَ مَاعِزًا فَوَاللَّهِ إِنِّي لَحُبْلَى قَالَ إِمَّا لَا فَاذْهَبِي حَتَّى تَلِدِي فَلَمَّا وَلَدَتْ أَتَتْهُ بِالصَّبِيِّ فِي خِرْقَةٍ قَالَتْ هَذَا قَدْ وَلَدْتُهُ قَالَ اذْهَبِي فَأَرْضِعِيهِ حَتَّى تَفْطِمِيهِ فَلَمَّا فَطَمَتْهُ أَتَتْهُ بِالصَّبِيِّ فِي يَدِهِ كِسْرَةُ خُبْزٍ فَقَالَتْ هَذَا يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَدْ فَطَمْتُهُ وَقَدْ أَكَلَ الطَّعَامَ فَدَفَعَ الصَّبِيَّ إِلَى رَجُلٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَحُفِرَ لَهَا إِلَى صَدْرِهَا وَأَمَرَ النَّاسَ فَرَجَمُوهَا

Kemudian wanita Ghamidiyah datang seraya berkata: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , aku telah berzina. Bersihkanlah aku”. Beliau menolaknya. Keesokan harinya, ia berkata: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kenapa engkau menolakku?. Mungkin engkau menolakku layaknya engkau menolak Maiz. Demi Allah Azza wa Jalla , aku benar-benar hamil”. Beliau menjawab: “Pergilah, kembali setelah engkau melahirkan”. Setelah melahirkan, ia mendatangi beliau dengan anaknya dalam balutan kain. Ia berkata: “Aku telah melahirkan”. Beliau berkata: “Pulanglah, susuilah ia sampai engkau menyapihnya”. Ketika ia telah menyapihnya, ia mendatangi beliau bersama anaknya yang memegang sepotong roti. Ia berkata: “Wahai Nabi Allah Azza wa Jalla , aku telah menyapihnya dan ia bisa makan roti”. Maka sang anak diserahkan kepada seorang lelaki dari kalangan Muslimin. Beliau memerintahkan untuk penggalian lubang sebatas dadanya. Orang-orang diperintahkan untuk melemparinya dengan batu…[HR. Muslim]

Islam sangat memperhatikan kelangsungan hidup anak yang masih di rahim ibunya sebelum ia dilahirkan, supaya tidak ada gangguan yang membahayakan keselamatannya karena hukuman yang ditimpakan kepada ibunya.

Sebab, terbunuhnya si ibu melalui hukum qishâsh akan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup janin yang dikandungnya. Syaikh Shalih al-Fauzânberkata: “Apabila qishâs ditegakkan terhadap seorang wanita yang hamil, ia tidak dibunuh (langsung, red) sampai melahirkan. Sebab kematiannya akan mengakibatkan kematian janin, padahal janin itu tidak bersalah”. Allah berfirman:

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ

Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *