Ada enam hak istri dari sisi keuangan – Setiap keluarga pasti memiliki cara yang berbeda-beda dalam mengelola keuangan rumah tangganya. Maka dalam mengelola keuangan keluarga perlu adanya kesepakatan bersama antara suami dan istri supaya keuangan tidak berantakan dan rumah tangga berjalan harmonis.
Sebagian keluarga biasanya memberikan kepercayaan kepada istrinya untuk mengatur keuangan rumah tangga sedangkan suami bertanggung jawab sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah. Adapun beberapa hak istri dari sisi keuangan dalam sebuah pernikahan antara lain :
Mahar
Hak istri pertama dalam sebuah pernikahan adalah pemberian mahar. Mahar adalah sesuatu yang diberikan oleh suami yang bermanfaat bagi istrinya. Mahar ini merupakah hak istri sepenuhnya pasca pernikahan. Hal ini dijelaskan dalam QS. An-Nisa ayat 4 :
“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.”
Adapun yang bisa dijadikan sebagai mahar pernikahan antara lain :
- Mahar dalam bentuk barang dan harta seperti emas, uang, seperangkat alat sholat, dsb.
- Mahar bisa berupa manfaat atas barang yang diberikan kepada istrinya, sebagai contoh suaminya memiliki usaha rental mobil. Secara fisik mobil yang ada dirental tersebut adalah milik suami. Namun ketika ada mobil yang disewakan manfaatnya adalah milik istrinya (penghasilan dari hasil sewa mobil).
- Mahar dalam bentuk jasa, hal ini terjadi pada kisah nabi Musa AS. ….
Mahar boleh dipinjamkan atau diberikan kepada suami saat dibutuhkan, jika istri ridho dan mengizinkan mahar tersebut diberikan kepada suaminya.
Nafkah
Hak istri kedua dari sisi keuangan adalah mendapatkan nafkah. Seorang suami memiliki tanggung jawab dalam mencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya. Nafkah merupakan kebutuhan utama dalam rumah tangga yang harus dipenuhi oleh suami sebagai kepala keluarga.
Agar rumah tangga menjadi harmonis maka nafkah yang diberikan suami untuk keluarganya minimal memenuhi kebutuhan sandang (pakaian yang layak dipakai), pangan (makanan yang halal dan thoyyib), dan papan (rumah yang layak dan nyaman ditempati). Hal ini disebutkan dalam QS.At-Talaq ayat 6 yaitu:
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”
Adapun seorang istri tidak berhak mendapatkan nafkah dari suaminya apabila :
- Suami tidak mendapatkan haknya dari istrinya (belum menggaulinya) pasca pernikahan.
- Seorang istri yang durhaka kepada suaminya maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah. Seperti seorang istri meninggalkan suaminya dalam waktu yang lama tanpa izin darinya.
- Ketika istri menolak ajakan suami untuk berhubungan karena alasan yang tidak syar’I (Nusyus)
Upah menyusui anak
Hak istri ketiga dari sisi keuangan adalah upah menyusui anak. Berbeda dengan nafkah yang diberikan kepada istrinya dalam ikatan pernikahan. Hak yang ketiga ini berupa upah menyusui anak diberikan bagi yang sudah cerai. Meskipun sudah tidak terikat dalam pernikahan, tidak ada yang namanya mantan ayah maka wajib memberikan nafkah untuk anaknya yang masih balita.
Nafkah tersebut diberikan kepada mantan istrinya guna menjaga asupan makanan untuk anaknya yang masih balita supaya tetap sehat dan tumbuh dengan baik. Tujuan diberikan nafkah tersebut hanya untuk kebutuhan anaknya bukan mantan istrinya, hal ini juga di jelaskan dalam QS.At-Talaq ayat 6 diatas.
Upah atas pengurusan rumah tangga
Hak istri keempat dari sisi keuangan adalah upah pengurusan rumah tangga. Upah ini adalah upah tambahan yang diberikan kepada istrinya jika suaminya ikhlas selain nafkah utama yang diberikan.
Kompensasi yang diberikan setelah perceraian
Hak istri kelima dari sisi keuangan adalah pemberian sejumlah harta berupa kompensasi (al mut’ah) yang diberikan kepada istri yang tidak dirujuk sampai masa idah (proses perceraian selesai). Selama masa idah, nafkah tetap diberikan kepada istrinya karena masih dalam status penikahan sebelum masa idah berakhir. Besaran yang diberikan sesuai dengan kesepakatan keduanya namun dilihat dari sisi keuangan suaminya. Hal inidijelaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 241 sebagai berikut :
“Dan bagi perempuan-perempuan yang diceraikan hendaklah diberi mut’ah menurut cara yang patut, sebagai suatu kewajiban bagi orang yang bertakwa.”
Warisan
Hak istri keenam dari sisi keuangan adalah hak mendapatkan warisan. Hak istri mendapatkan warisan dari suaminya apabila dalam ikatan pernikahan suaminya meninggal dunia. Besaran yang diberikan adalah 1/8 dari keseluruhan harta suami yang meninggal dunia jika mempunyai anak darinya. Dan 1/4 dari keseluruhan harta suami yang meninggal dunia jika tidak mempunyai anak darinya. Hal ini dijelaskan dalam QS. An-Nisa ayat 11-13 sebagai berikut :
“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.1 Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (QS.An-Nisa:11)
“Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) hutang-hutangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris).1 Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.” (QS.An-Nisa :12)
“Itulah batas-batas (hukum) Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan yang agung.” (QS. An-Nisa:13)
Referensi : Kajian Ustadzah Aini Aryani-“Fiqih pernikahan dan keluarga muslimah Bag.2”, Musholah Baiturrahman Banjar Wijaya -26 Mei 2024